Tidak sedikit perusahaan yang mengalami kegagalan dalam implementasi teknologi informasi (TI) atau sistem teknologi informasi (STI), termasuk juga yang berkaitan dengan sistem informasi akuntansi. Ada beberapa penyebab yang dapat ditelusuri. Secara garis besar ada yang bersifat teknis dan non-teknis. Sisi teknis berkaitan dengan teknologi yang berada di belakang sistem tersebut, sementara sisi non teknis berada pada aspek keperilakuan dan managerial dalam penggunaan sistem tersebut. Tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai aspek managerial yang mempengaruhi kesuksesan penerapan sistem teknologi informasi.
Keller (2004) dalam bukunya yang berjudul ‘Technology Paradise Lost: Why Companies Will Spend Less to Get More from Information Technology’ mengungkapkan secara jelas bagaimana peran STI dalam korporasi modern saat ini, terutama untuk mentrasformasikan investasi yang telah dilakukan dalam bidang STI yang tergolong besar agar menghasilkan nilai dan profitabilitas bagi perusahaan. Investasi-invetasi di bidang STI seringkali tidak diikuti dengan hasil yang maksimal bagi perusahaan, baik dari sisi produktivitas, profitabilitas maupun nilai yang akan diterima oleh suatu entitas bisnis. Berkaitan dengan hal ini muncul terminologi productivity paradox. Istilah productivity paradox pertama kali dikemukakan oleh Steven Roach dalam penelitiannya yang berjudul America’s Technology Dilemma: A Profile of the Information Economy yang dipublikasikan pada tanggal 22 April 1987 (Brynjolfsson & Hitt 1998). Kesimpulan mengenai productivity paradox diperoleh karena adanya peningkatan yang sangat besar dalam teknologi komputasi, namun demikian tidak diimbangi dengan imbas yang dihasilkan dari sisi kinerja ekonomi, khususnya untuk sektor ekonomi yang didominasi oleh “pekerja informasi”. (Brynjolfsson & Hitt 1998).
Perdebatan panjang mengenai productivity paradox bermunculan, ada yang mendukung dan ada juga yang menentang. Argumen yang mendukung dikemukakan oleh Carr (2003) yang menyatakan bahwa investasi dalam bidang teknologi seringkali tidak sejalan dengan hasil yang dapat diperoleh. STI tidak lagi menjadi sesuatu yang strategis bagi perusahaan dan telah menjadi suatu komoditas. Sejumlah survey dan penelitian menemukan bahwa productivity paradox tidak sepenuhnya benar dan tidak juga sepenuhnya salah. Beberapa sektor produksi ada yang mengalami peningkatan dalam produktivitas dalam kaitannya dengan penggunaan STI, namun ada juga yang tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Hasil survey yang dilakukan oleh Federal Reserve Board, Information Technology and Productivity: Where Are We Now and Where Are We Going, pada tahun 2002 menemukan bahwa peningkatan produktivitas hanya terjadi pada beberapa sektor industri seperti industri perakitan komputer, sekuritas (keuangan), pabrikan semikonduktor, telekomunikasi, dan grosir. Produktivitas terbesar yang dicapai oleh industri-industri tersebut berada dalam rentang waktu 6 tahun sejak tahun 1995 hingga 2000 (Keller 2004). Argumen yang kontra productivity paradox datang dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2003 yang menganjurkan investasi besar-besaran dalam TI karena akan berdampak pada produktivitas dan pertumbuhan GDP seperti yang telah dialami oleh Amerika. U.S. Department of Commerce dalam laporannya Digital Economy 2002, melaporkan bahwa pergerakan dan pertumbuhan dalam ekonomi Amerika sangat erat kaitannya dengan pengeluaran dan penggunaan STI. Salah satunya adalah penciptaan bidang-bidang kerja yang bergaji tinggi yang berhubungan dengan penyediaan jasa dan penjualan STI. (Keller 2004). Survey yang dilakukan oleh OECD dan U.S. Department of Commerce ini melihat imbas STI secara lebih luas dalam konteks negara dan bukan pada tingkatan perusahaan. Jika dilihat secara lebih luas, dapat disimpulkan STI memiliki imbas yang besar dalam produktivitas perekonomian saat ini.
| Mengapa ada sebagian perusahaan berhasil menikmati keuntungan dari investasi STI yang mereka lakukan, sementara ada sebagian yang lain mengalami kegagalan? |
| |
Pertanyaan penting yang patut dikemukakan berkaitan dengan productivity paradox adalah mengapa ada sebagian perusahaan yang berhasil menikmati keuntungan dari investasi STI yang mereka lakukan sementara ada sebagian lain yang mengalami kegagalan. Kegagalan sebagian perusahaan dalam memanfaatkan STI seharusnya tidak dapat menjadi justifikasi productivity paradox.
Kesukesan perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan STI dalam proses bisnisnya seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi perusahaan-perusahaan yang belum mendapatkan hasil yang maksimal dalam investasi di bidang STI. Productivity paradox yang menjadi bahan perdebatan sesungguhnya berada pada lingkup perusahaan atau industri tertentu saja dan bukan berada pada lingkup yang lebih luas seperti negara dan regional tertentu. Oleh karena itu fenomena productivity paradox sebenarnya tidak dapat digeneralisasikan sebagai salah satu dampak dari penggunaan STI dalam proses bisnis.
Penelitian empiris menunjukkan bahwa kegagalan dalam implementasi STI sebenarnya terjadi karena kesalahan dalam pengelolaan STI itu sendiri dan tidak adanya ukuran yang jelas bagaimana mengukur kesuksesan implementasi STI. Kegagalan dalam STI umumnya terjadi karena proses perencanaan dan analisis masalah yang salah sehingga hasil pengembangan STI kedalam perusahaan menjadi tidak berhasil. Faktor kepemimpinan juga memainkan peranan yang amat penting. Keterlibatan dan partisipasi manajemen puncak akan sangat menentukan kesuksesan implementasi STI. Beberapa studi yang berkaitan dengan hal tersebut menemukan terdapat keterkaitan yang erat antara kesuksesan implementasi STI dengan hubungan eksekutif yang didalamnya melibatkan CEO dan CIO (Feeny et al. 1992; Earl & Feeny 1995; Chen & Preston, 2007). Dari sisi pengukuran kesuksesan, STI tidak hanya diukur dari perspektif keuangan, namun juga harus diukur dari persepektif non keuangan lainnya seperti kepuasan pelanggan, kepuasan karyawan, akurasi proses bisnis, dsb. Pengukuran kesuksesan STI yang hanya diukur dari perspektif keuangan tidak tepat, karena dua variabel ini tidak selalu berhubungan secara langsung.
Berkaitan dengan adanya kesalahan dalam pengelolaan dan pengukuran kesuksesan implementasi STI, pemikiran mengenai tata kelola teknologi informasi (IT governance) kini berkembang. Ada berbagai definisi yang dikemukakan berkaitan dengan tata kelola TI. Ross & Weill (2004) Mendefinisikan tata kelola TI sebagai spesifikasi atas rerangka dalam pengambilan keputusan keputusan, pendelegasian wewenang dan akuntabilitas untuk mendorong perilaku yang diinginkan dalam penggunaan teknologi informasi. Definisi ini lebih menekankan kepada sistem dan proses dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kesuksesan dalam penggunaan teknologi. Definisi lainnya yang lebih luas dikemukakan oleh The IT Governance Institute (ITGI), tata kelola TI didefinisikan sebagai tanggung jawab eksekutif dan dewan komisaris yang melibatkan kepemimpinan, struktur organisasional, dan proses untuk meyakinkan keberlanjutan TI, pencapaian strategi dan tujuan perusahaan. Mekanisme tata kelola TI memiliki tiga komponen yaitu struktur, proses dan mekanisme relasional (Van Grembergen & De Haes 2008). Struktur meliputi organisasi, lokasi fungsi TI, eksistensi, dan kejelasan tugas serta tanggung jawab dari peran TI yang beragam dalam organisasi. Proses merujuk pada pengambilan keputusan, perencanaan sistem informasi strategis, pengendalian dan rerangka proses. Mekanisme relasional merupakan komponen yang melengkapi rerangka tata kelola TI. Mekanisme sangat dibutuhkan dalam tataran operasional, tata kelola TI tidak akan berhasil tanpa adanya mekanisme meskipun telah memiliki struktur dan proses yang baik. Mekanisme ini meliputi partisipasi bisnis/TI, dialog strategis, pelatihan, pembelajaran dan komunikasi. Dalam tataran operasional, panduan operasional tata kelola TI dapat menggunakan COBIT, CMMi, COSO, ISO/IEC 17799:2005, ISO/IEC TR 13335, ISO/IEC 15408:2005, ITIL, NIST 800-14, PRINCE2, PMBOK, TickIT (Van Grembergen & De Haes 2008).
Aspek managerial terutama yang berkaitan dengan tata kelola teknologi informasi memegang peranan penting dalam kesuksesan implementasi STI. Dengan demikian, penerapan STI semata tanpa mempertimbangkan bagaimana memanfaatkannya dengan benar, sama sekali tidak bermanfaat bagi perusahaan.
Komentar:
Sebenarnya penggunaan IT dalam perusahaan memang sangat membantu untuk memecahkan masalah dalam perusahaan tersebut, banyak hal-hal yang semakin mudah dikerjakan dengan menggunakan IT. Terbukti sekarang ini perusahaan-perusahaan sudah banyak menggunakan IT selain bertujuan untuk memudahkan pekerjaan, IT juga bisa menghemat waktu para pekerja sehingga semua pekerjaan bisa cepat selesai lebih awal. Dan terbukti juga IT sangat membantu perusahaan dalam menerapkan Sistem Informasi Akuntansi yang sudah dibuat oleh perusahaan itu sendiri. Dengan adanya IT pun memperkecil kemungkinan untuk terjadi kecurangan. Jika ada kegagalan dalam implementasi STI sebenarnya terjadi karena kesalahan dalam pengelolaan STI itu sendiri dan tidak adanya ukuran yang jelas bagaimana mengukur kesuksesan implementasi STI. Kegagalan dalam STI umumnya terjadi karena proses perencanaan dan analisis masalah yang salah sehingga hasil pengembangan STI kedalam perusahaan menjadi tidak berhasil. Faktor kepemimpinan juga memainkan peranan yang amat penting. Keterlibatan dan partisipasi manajemen puncak akan sangat menentukan kesuksesan implementasi STI. Beberapa studi yang berkaitan dengan hal tersebut menemukan terdapat keterkaitan yang erat antara kesuksesan implementasi STI dengan hubungan eksekutif yang didalamnya melibatkan CEO dan CIO. Dari sisi pengukuran kesuksesan, STI tidak hanya diukur dari perspektif keuangan, namun juga harus diukur dari persepektif non keuangan lainnya seperti kepuasan pelanggan, kepuasan karyawan, akurasi proses bisnis, dsb. Pengukuran kesuksesan STI yang hanya diukur dari perspektif keuangan tidak tepat, karena dua variabel ini tidak selalu berhubungan secara langsung.